KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Di tengah lesunya permintaan kredit, minat bank terhadap surat utang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) terpantau meningkat. Padahal, BI sudah menurunkan posisi instrumen satu itu demi mendorong likuiditas rupiah.
Pada akhir Oktober 2025, perbankan memiliki SRBI total Rp 601,9 triliun. Angka ini meningkat dalam empat bulan berturut-turut.
Sementara outstanding SRBI justru turun dalam sembilan bulan berturut-turut sejak mencapai puncak pada November 2024 lalu. Per Oktober 2025, outstanding SRBI mencapai Rp 705,81 triliun.
Di tengah kenaikan kepemilikan bank, investor asing justru mengurangi kepemilikan SRBI. Penurunan kepemilikan asing bahkan terjadi dalam lima bulan berturut-turut.
Menurut Advisor Banking & Finance Development Center Moch Amin Nurdin, masifnya kepemilikan bank terhadap SRBI merupakan implikasi dari pertumbuhan kredit yang tak seberapa baik, padahal bank punya likuiditas yang cukup bahkan berlebih.
“Makanya idle fund yang mereka miliki ditaruh di SRBI. Risikonya kecil, keuntungannya lumayan. Paling tidak bank bisa berbagi risiko di sana,” jelas Amin kepada Kontan, Minggu (23/11).
Amin bilang pengajuan kredit, khususnya dari korporasi, masih tertahan karena pelaku usaha cenderung wait and see dengan situasi makro ekonomi. Memang saat ini bank juga berisiko kesulitan mendulang dana pihak ketiga (DPK) seiring menurunnya suku bunga, tetapi SRBI tetap menjadi pilihan menarik karena likuiditasnya longgar.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Hera F. Haryn pun menyebut, penempatan dana pada instrumen surat berharga merupakan bagian dari strategi pengelolaan likuiditas bank.
“BCA senantiasa menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dengan ekspansi kredit yang sehat,” kata Hera.
Sebagai informasi, surat berharga yang dimiliki BCA per Oktober 2025 tercatat sebesar Rp 431,76 triliun atau setara 28,81% dari total aset yang dimiliki bank. Secara proporsi, Hera bilang obligasi pemerintah atau SBN jadi surat utang yang paling banyak dimiliki bank, kemudian SRBI dan surat berharga lainnya.
Penempatan pada SRBI ini dilakukan bank untuk mendukung perekonomian nasional. Pun, hal yang sama berlaku untuk penempatan pada instrumen surat berharga lainnya. BCA memastikan akan mengelola likuiditas secara pruden dan berhati-hati dalam manajemen risiko.
Sementara itu, Head of Corporate Relations PT Bank KB Indonesia Tbk (KB Bank) Adi Pribadi menyebut imbal hasil SRBI kurang kompetitif dibandingkan alternatif penempatan likuiditas lainnya. Maka dari itu, KB Bank tak menempatkan dana sama sekali di instrumen tersebut.
“Portofolio yang lebih fleksibel dan sesuai profil risiko bank akan memberikan nilai yang lebih optimal,” sebut Adi.
Lebih lanjut, ia bilang bank memang cenderung berhati-hati dalam menempatkan likuiditas, terutama pada instrumen dengan tenor pendek yang memiliki sensitivitas terhadap dinamika suku bunga. Untuk diketahui, surat berharga yang dimiliki KB Bank mencapai Rp 17,72 triliun per September 2025.
Secara prinsip, Adi bilang repo SRBI memang dapat menjadi salah satu opsi bagi industri perbankan ketika membutuhkan manajemen likuiditas jangka pendek.
Reporter: Lydia Tesaloni