KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Terjadi arus keluar dana asing pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dalam tiga bulan terakhir hingga 27 November 2025.
Kepemilikan asing pada SBN turun menjadi Rp 873,34 triliun pada tanggal tersebut. Secara bulanan, kepemilikan asing terbesar tahun ini tercatat pada akhir Agustus, yakni Rp 953,85 triliun. Porsi kepemilikan asing ini sebesar 14,87% dari total SBN yang dapat diperdagangkan.
Kepemilikan asing turun dalam tiga bulan berturut-turut dari level tersebut. Menjelang akhir November, hanya tersisa 13,38% dari total SBN yang dapat diperdagangkan.
Head of Investment Specialist Sinarmas Asset Management Domingus Sinarta Ginting sebelumnya mengatakan bahwa arus keluar dana asing di SBN disebabkan antara lain arah suku bunga Federal Reserve serta potensi kenaikan inflasi jangka pendek di pasar domestik.
Lebih lanjut di tengah kondisi seperti ini, dia melihat prospek pasar SBN di akhir tahun 2025 dan awal tahun 2026 masih akan menantang, karena belum ada faktor penyokong yang bisa mendorong asing kembali masuk.
Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin mengatakan bahwa yield SBN sempat menyentuh level 5,9% menjelang akhir Oktober 2025. Yield 10 tahun kemudian naik karena penurunan lebih lanjut semakin terbatas. Selain itu, penurunan ke level tersebut membuat SBN sudah terlalu mahal dan perlu katalis baru untuk turun lebih lanjut.
Dia pun memprediksi hingga akhir tahun yield kemungkinan akan bergerak di sekitar 4,9% hingga 6,2%. Kecenderungannya adalah di sekitar 6%.
“Yield yang lebih rendah ke depan itu sesuatu yang normal mempertimbangkan peluang berlanjutnya pemangkasan suku bunga BI. Selain itu, gelontoran dana dari Kemenkeu diharapkan dapat meningkatkan likuiditas, yang mana bisa mendorong suku bunga turun dan yield akan mengikutinya,” ungkap Ahmad pada 20 November lalu.
Terakhir Ahmad bilang peluang masuknya kembali aliran dana asing ke SBN dalam waktu dekat juga masih terlihat terbatas mengingat sentimen eksternal dan kekhawatiran fiskal domestik saat ini.
Meskipun demikian, Indonesia memiliki peluang entry yang menarik jika faktor-faktor risiko tersebut mereda. Kata Ahmad, waktu yang paling prospektif bagi investor untuk re-entry kemungkinan besar adalah menjelang akhir kuartal I 2026 atau kuartal II 2026, ketika The Fed diperkirakan mulai memberikan sinyal dovish yang lebih jelas dan ketidakpastian politik domestik mereda.
Kepemilikan Bank
Berbeda dengan kepemilikan asing, kepemilikan bank pada instrumen SBN justru naik dalam delapan bulan berturut-turut sejak April hingga November 2025. Memang, kepemilikan bank pada SBN ini masih kalah jika dibandingkan dengan kepemilikan Bank Indonesia (BI). Tetapi selisih kepemilikan keduanya makin tipis.
Sisi negatif dari hal ini adalah bahwa bank lebih banyak menempatkan dana di instrumen SBN. Artinya, prospek penyaluran kredit makin tersendat. Menurut survei perbankan yang dilakukan oleh BI, nilai saldo bersih tertimbang permintaan kredit baru di kuartal ketiga mencapai 82,33%.
Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal kedua 2025 yang sebesar 85,22%. Perlambatan kredit baru terlihat pada kredit modal kerja. Sedangkan kredit investasi dan kredit konsumsi relatif stabil ketimbang kuartal kedua.
Tetapi, penyaluran kredit baru diperkirakan meningkat dengan nilai saldo bersih tertimbang sebesar 96,4%.
Selain perbankan, peningkatan kepemilikan SBN juga terlihat pada reksadana serta asuransi dan dana pensiun. Asuransi dan dana pensiun merupakan pemiik terbesar ketiga SBN setelah BI dan bank.
Per 27 November 2025, asuransi dan dana pensiun menggenggam SBN total Rp 1.269,20 triliun. Berkebalikan dengan kepemilikan asing, kepemilikan lembaga keuangan ini naik dalam tiga bulan beruntun.
Sedangkan kepemilikan reksadana pada SBN meningkat dalam lima bulan beruntun sejak Juli 2025. Menjelang akhir November, reksadana menggenggam Rp 235,97 triliun SBN.
Berbeda dengan lembaga keuangan domestik, kepemilikan individu pada SBN justru turun dalam tiga bulan terakhir. Padahal, penerbitan SBN ritel terus berlangsung sejak awal tahun hingga saat ini.
Pemerintah juga tengah menggelar penawaran sukuk tabungan seri ST015 hingga 3 Desember 2025. Tetapi jumlah penerbitan tahun ini tampaknya masih lebih rendah ketimbang minat masyarakat atau ada instrumen lain yang lebih diminati masyarakat ketimbang SBN seperti emas yang harganya tengah naik tinggi.