Neraca perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan fluktuasi.
Dari data tersebut, terlihat bahwa surplus perdagangan Indonesia terhadap AS mengalami kenaikan signifikan dari 2020 hingga 2022, sebelum akhirnya turun pada 2023. Surplus perdagangan meningkat lagi pada 2024.
Pemerintah AS, di bawah kepemimpinan Donald Trump, telah menerapkan tarif dasar 10% pada semua barang impor mulai April 2025, serta tarif resiprokal 32% untuk produk Indonesia. Ini menyebabkan daya saing produk Indonesia di pasar AS menurun.
Situasi ekonomi global yang belum stabil, termasuk perlambatan ekonomi di AS, turut berdampak pada berkurangnya permintaan terhadap barang impor, termasuk dari Indonesia.
Ketegangan perdagangan antara Indonesia dan AS, serta kebijakan proteksionisme yang lebih ketat dari Washington, dapat menyebabkan hambatan perdagangan dan menekan ekspor Indonesia.
Apa Dampaknya bagi Ekonomi Indonesia?
- Pelemahan Rupiah: Jika surplus terus menurun, neraca perdagangan bisa tertekan, berpotensi menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah.
- Dampak bagi Sektor Industri: Sektor ekspor utama seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan komponen otomotif bisa terdampak akibat tingginya bea masuk ke AS.
- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Jika ekspor menurun drastis, industri dalam negeri yang bergantung pada pasar AS bisa mengalami perlambatan produksi, berisiko menimbulkan PHK massal.
Langkah Antisipasi Pemerintah
- Diversifikasi Pasar Ekspor: Pemerintah perlu mengurangi ketergantungan terhadap AS dan memperluas pasar ke negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) serta Afrika dan Timur Tengah.
- Negosiasi dengan AS: Tim diplomasi perdagangan Indonesia perlu meningkatkan lobi dengan AS untuk mencari solusi atas tarif yang diterapkan.
- Penguatan Industri Domestik: Pemerintah perlu mendorong industri dalam negeri agar lebih kompetitif di pasar global, termasuk memberikan insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha.