Lelang surat berharga negara (SBN) perdana di semester kedua 2025 ramai peminat. Pada lelang SBN Selasa, 1 Juli 2025, total permintaan yang masuk mencapai Rp 121,68 triliun.
Dari total permintaan masuk, pemerintah hanya memenangkan Rp 32 triliun. Angka ini lebih tinggi ketimbang target indikatif awal sebesar Rp 27 triliun.
Tetapi pemerintah tidak jor-joran memenangkan hingga angka maksimal 150% atau sebesar Rp 40,5 triliun dari target indikatif.
Ramainya permintaan pada lelang membuat pemerintah lebih leluasa untuk mendapatkan pendanaan yang lebih murah. SBN acuan mencatat permintaan tertinggi.
Seri FR0104 tenor 5 tahun mendapatkan permintaan Rp 43,16 triliun. Dari total permintaan, pemerintah hanya memenangkan Rp 7,3 triliun.
Yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan untuk seri FR0104 sebesar 6,25%. Angka ini lebih rendah ketimbang yield lelang dua pekan sebelumnya sebesar 6,33%.
Seri FR0103 tenor 10 tahun mendapatkan permintaan Rp 39,12 triliun. Dari total tersebut, pemerintah memenangkan Rp 9,1 triliun.
Yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan untuk FR0103 adalah 6,59%. Yield tenor ini juga lebih rendah ketimbang lelang SBN dua pekan sebelumnya di angka 6,72%.
SBN Jadi Sumber Anggaran Penting
Pembiayaan APBN melalui penerbitan SBN di tengah pelebaran defisit masih menjadi strategi Kementerian Keuangan. Target pembiayaan tahun ini mencapai Rp 616,2 triliun.
Sepanjang semester pertama 2025, pemerintah telah mengantongi total dana Rp 430,2 triliun dari lelang SBN dan SBSN. Angka ini tidak termasuk penerbitan SBN ritel.
Di kuartal pertama, dana utang hasil lelang SBN dan SBSN sebesar Rp 222,20 triliun.
Sedangkan dana hasil lelang di kuartal kedua sebesar Rp 208 triliun. Hasil lelang kuartal kedua lebih rendah karena banyaknya hari libur sehingga tidak ada beberapa kali lelang SBN.
Di kuartal ketiga ini, pemerintah menargetkan pendanaan dari lelang SBN dan SBSN sebesar Rp 252 triliun.
Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan, peningkatan kebutuhan pembiayaan negara pada paruh kedua tahun ini merupakan konsekuensi dari target belanja negara yang lebih tinggi.
“Kalau kita lihat, pembiayaan negara memang akan meningkat pada kuartal ketiga ataupun keempat, terutama untuk mendongkrak aktivitas ekonomi kita,” kata Myrdal kepada Kontan.co.id, Jumat (4/6).
Ia menilai bahwa lonjakan belanja ini juga berkaitan dengan potensi shortfall atau kekurangan pendapatan negara.
Menurutnya, realisasi penerimaan negara kemungkinan hanya akan mencapai sekitar 95% dari target yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini membuka peluang pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Wajar kalau kita lihat, ada kemungkinan defisit APBN membengkak dari rencana awal sekitar 2,52%–2,53%, menjadi 2,78%,” ujar dia.
Lebih lanjut, Myrdal menilai penerbitan SBN pada kuartal III bukan hanya strategi pembiayaan, tetapi juga bentuk antisipasi terhadap ketidakpastian global, termasuk kebijakan tarif dari Amerika Serikat.
Ia menyoroti wacana pengenaan tarif tinggi terhadap produk-produk ekspor, yang sempat mencuat hingga 32%. Namun, dengan perkembangan terakhir, potensi tarif tersebut dinilai tidak akan setinggi itu.
“Kalau Vietnam saja bisa dapat tarif 20%, Indonesia bisa setengahnya, atau maksimal mentok di 20%,” jelasnya.
Karena itu, ia menyimpulkan bahwa kebutuhan penerbitan SBN kuartal III ini lebih didorong oleh urgensi dalam negeri, seperti percepatan realisasi anggaran pembangunan yang diprediksi akan lebih agresif pada kuartal III dan IV.
"Ini pure untuk kebutuhan pembiayaan negara yang kelihatannya meningkat dalam rangka mendongkrak aktivitas perekonomian jadi kebutuhan ekonomi kita tinggi untuk pembangunan banyak program juga yang kelihatannya akan diakselerasi realisasi anggarannya,” jelas Myrdal.
Belum lama ini, rapat dengan Komisi XI DPR RI, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan outlook defisit APBN tahun 2025 akan mencapai Rp 662 triliun atau setara 2,78% dari produk domestik bruto (PDB). Proyeksi ini lebih besar dibandingkan target defisit dalam APBN 2025 yang sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53% dari PDB.
Dengan proyeksi defisit yang melebar menjadi 2,78% dari PDB, Sri Mulyani meminta persetujuan DPR untuk menggunakan sisa anggaran lebih (SAL) sebesar Rp 85,6 triliun dari total SAL 2024 yang mencapai Rp 457,5 triliun.
“Kami akan meminta persetujuan DPR untuk menggunakan SAL Rp 85,6 triliun, sehingga kenaikan defisit itu tidak harus dibiayai semua dengan penerbitan surat utang,” ungkapnya.
Reporter: Wahyu Tri Rahmawati, Nurtiandriyani Simamora