Indonesia mencatat surplus perdagangan dalam 59 bulan terakhir hingga Maret 2025. Surplus perdagangan ini disokong oleh perdagangan nonmigas.
Indonesia mulai mencatat defisit perdagangan migas (minyak dan gas) secara konsisten sejak 2012. Defisit perdagangan migas sporadis sudah terjadi sejak tahun 2000-an.
Indonesia hanya memenuhi 35%–40% kebutuhan minyak/BBM dari produksi domestik. Sementara untuk gas surplus tapi terkendala distribusi.
Produksi minyak yang terus menurun menyebabkan kebutuhan minyak domestik tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Perkembangan Defisit Migas Indonesia:
1. Era 2000-an: Indonesia masih menjadi eksportir netto migas, tetapi produksi minyak mentah mulai menurun sementara konsumsi dalam negeri meningkat.
- Pada 2004, Indonesia pertama kali mengalami defisit perdagangan minyak mentah karena turunnya produksi dan kenaikan impor.
- Namun, surplus gas masih menutupi defisit minyak, sehingga neraca perdagangan migas secara keseluruhan masih positif.
2. 2012: Titik Balik Defisit Migas Permanen
- Mulai 2012, defisit migas terjadi secara terus-menerus karena:
- Penurunan produksi minyak (lapangan tua seperti Minas dan Duri menyusut).
- Kenaikan impor BBM (konsumsi domestik tinggi, kilang dalam negeri terbatas).
- Ekspor gas tidak cukup untuk menutupi defisit minyak.
3. 2018–Sekarang: Defisit migas semakin dalam karena:
- Ketergantungan impor BBM (seperti Pertalite, Solar, Avtur).
- Harga minyak dunia berfluktuasi (misal, kenaikan harga 2022 memperbesar defisit).
- Peningkatan konsumsi energi seiring pertumbuhan ekonomi.