Efek Perlambatan China Mulai Terasa di Neraca Dagang Indonesia?

16 Oktober 2024 | 07:00 WIB
Efek Perlambatan China Mulai Terasa di Neraca Dagang Indonesia?
ILUSTRASI. China menjadi negara penyumbang defisit neraca dagang paling dalam per September 2024.

Reporter: Siti Masitoh, Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia mencatat surplus neraca dagangan dalam 53 bulan berturut-turut sejak Mei 2020 hingga September 2024.

Surplus neraca dagang Indonesia per September 2024 mencapai US$ 3,26 miliar. Surplus neraca perdagangan September 2024 ini lebih tinggi bila dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi lebih rendah US$ 0,15 miliar jika dibandingkan dengan September 2023.

Kondisi surplus pada September 2024 ini ditopang oleh surplus pada komoditas non-minyak dan gas (migas) yaitu sebesar US$ 4,62 miliar.

Pada saat yang sama, komoditas migas Indonesia mencatatkan defisit US$ 1,36 miliar, lebih rendah dari defisit bulan sebelumnya yang mencapai US$ 1,44 miliar. Komoditas migas ini berasal dari komoditas hasil minyak maupun minyak mentah.

Lebih lanjut, neraca perdagangan Indonesia pada September 2024 masih surplus karena nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai impor.

Nilai ekspor Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar US$ 22,08 miliar, atau turun 5,80% bila dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan nilai impor Indonesia tercatat sebesar US$ 18,82 miliar, atau turun 8,91% bila dibandingkan bulan sebelumnya.

Neraca Dagang Indonesia September 2024

Efek Perlambatan Ekonomi China

Perdagangan Indonesia dengan China mencatat defisit pada bulan September 2024. Artinya, nilai impor lebih besar ketimbang ekspor.

China menjadi negara penyumbang defisit neraca dagang paling dalam per September 2024. Defisit perdagangan dengan China mencapai US$ 630,7 juta, dalam bentuk mesin dan peralatan mekanis (HS 84) US$ 1.437,1 juta, mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) mencapai US$ 1.007,2 juta, serta kendaraan dan bagiannya US$ 314,8 juta.

Dua negara lain yang menyumbang defisit terbesar adalah Australia dengan defisit US$ 369,4 juta dan Thailand dengan defisit US$ 317,9 juta.

Sementara tiga negara penyumbang utama surplus terbesar pada September 2024 adalah Amerika Serikat (AS), India, dan Filipina.

“Tiga negara terbesar yang mengalami surplus neraca perdagangan dengan AS mencapai US$ 1,39 miliar, India US$ 942 juta, dan Filipina US$ 783,9 juta,” tutur Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers Selasa (15/10).

Baca Juga: Neraca Dagang Indonesia Surplus 53 Bulan, Kemenkeu: Daya Tahan Ekonomi Tangguh

Amalia menambahkan bahwa impor nonmigas dari China mencapai US$ 5,98 miliar. Angka ini setara 36,68% dari total impor.

“Namun impor non migas dari China turun dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai US$ 6,43 miliar,” tutur Amalia dalam konferensi pers, Selasa (15/10).

Impor nonmigas Indonesia dari China merupakan porsi terbesar. Negara sumber impor terbesar kedua, yakni Jepang hanya menyumbang 7,58% dari total impor Indonesia per September.

Kondisi impor yang lebih besar ketimbang ekspor terhadap China ini juga menunjukkan tanda-tanda perlambatan ekonomi di Negara Tirai Bambu dan potensi perlambatan ekonomi global. Pasalnya, meski surplus meningkat, nilai impor dan ekspor sama-sama turun.

Baca Juga: Harga Minyak Anjlok 2% Karena OPEC Memangkas Proyeksi Pertumbuhan Permintaan Minyak

Oxford Economics dalam research briefing Global: Revisiting the global impact from a slowing China memperkiakan bahwa efek perlambatan ekonomi China terhadap ekonomi global bisa signifikan, tergantung pada luapan finansial dan respons otoritas China.

Untuk seluruh prediksi permodelan, efek terbesar akan terjadi pada negara-negara dengan hubungan perdagangan yang dalam dengan China, diikuti oleh eksportir-eksportir komoditas yang sensitif terhadap China.

"Skenario dengan luapan finansial yang tinggi bisa memangkas 1% produk domestik bruto (PDB) global sebesar 1% di tahun 2026, sementara efek luapan yang lebih rendah akan menurunkan PDB global 0,7%," ungkap Innes McFee, Chief Global Economist Oxford Economics dalam research briefing, Senin (14/10).

Dengan skenario terburuk yakni penurunan PDB China sebesar 3,3% dan penurunan pasar saham 30% pada 2026, pasar saham akan turun 10% dari prediksi awal di 2026. Hal ini akan memperburuk penurunan ekonomi di China dan global sehingga menurunkan permintaan konsumen.

Baca Juga: Prospek Harga Logam Industri yang Menanti Kejelasan Stimulus Ekonomi China

Pelemahan permintaan konsumen ini akan turun menekan harga komoditas dengan prediksi penurunan 16% dari prediksi awal. Berikut negara-negara yang terdampak perlambatan ekonomi China dengan skenario terburuk:

  1. Negara-negara Asia dengan hubungan dagang yang kuat dengan China akan mengalami penderitaan terburuk: Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Vietnam
  2. Negara eksportir komoditas utama akan kena pengaruh selanjutnya: Arab Saudi, Rusia, Afrika Selatan, Brasil, dan Indonesia
  3. Negara maju yang memiliki paparan perdagangan global dan arus komoditas: Jerman, Belanda, Kanada, dan Jepang
  4. Negara dengan ekonomi yang relatif tertutup dari paparan perdagangan China dan ekspor komoditas bersih yang minimal: Amerika Serikat, Inggris, Italia, dan Prancis

"Dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia bisa diimbangi oleh respons kebijakan kuat oleh otoritas China," ungkap McFee.

Respons ini terutama pada kebijakan fiskal. Pada situasi ekonomi China sekarang, kebijakan moneter menjadi kurang efektif. "Kebijakan fiskal yang mengikuti kebijakan moneter akan sangat membatasi penurunan PDB China dan mengurangi dampak PDB global hanya 0,3% di tahun 2026," imbuh McFee.

Selanjutnya: Allianz Utama Catat Pendapatan Premi Tumbuh 11,4% per Agustus 2024

Menarik Dibaca: Promo McD Gratis 1 Gelas Collector’s Edition Gambar Teddy Bear-Minions Terbaru 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

BERITA TERKAIT
TERBARU
loading
Close [X]